Bandung and China, a friendship since 1955.
1955, Presiden Soekarno bersama Perdana Menteri Zou Enlai di Bandung
2015, Presiden Jokowi bersama Presiden Xi Jinping di Bandung
Awalnya PM Zou Enlai direncanakan menginap di Hotel Savoy Homman yang menjadi hotel resmi Konferensi Asia Afrika (KAA), di kota Bandung. Namun dengan alasan keamanan Tuan Enlai memilih untuk menginap di sebuah bungalow di Jalan Tamansari No. 10, (lokasi ini letaknya di seberang kampus Unisba Tamansari sekarang).
Di akhir bulan April 1955, kota Bandung yang sejuk dan tenang tiba-tiba menjadi pusat perhatian dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, negara-negara Asia dan Afrika yang sebagian besar baru merdeka—atau tengah memperjuangkan kemerdekaan—berkumpul untuk mendiskusikan masa depan mereka sendiri, terlepas dari bayang-bayang kekuatan kolonial Barat. Inilah konferensi antar negara pertama yang diselenggarakan oleh bangsa Asia dan Afrika, tanpa campur tangan negara barat.
Selain tuan rumah, Presiden Indonesia, Soekarno, diantara para tokoh dunia yang hadir dalam Konferensi Asia-Afrika itu, Zhou Enlai, Perdana Menteri Republik Rakyat China, menjadi salah satu tokoh yang paling mencuri perhatian.
Sebuah Kota, Sebuah Konferensi, Sebuah Dunia Baru
Konferensi Asia-Afrika yang berlangsung pada 18–24 April 1955 merupakan buah dari gagasan progresif para pemimpin Asia, terutama Presiden Indonesia Soekarno, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, dan beberapa tokoh dari Burma, Pakistan, serta Sri Lanka (dulu Ceylon). Mereka membayangkan sebuah forum di mana negara-negara Asia dan Afrika bisa menyuarakan kepentingan bersama: anti-kolonialisme, perdamaian dunia, dan solidaritas antarbangsa yang setara.
Bandung dipilih sebagai tempat penyelenggaraan, dan dalam waktu singkat, kota itu berubah dari pusat pendidikan dan budaya menjadi panggung utama politik dunia. Di tengah arus tokoh dan diplomat dari 29 negara, kehadiran Zhou Enlai menandai pentingnya peran China di tatanan Asia baru.
Kedatangan Zhou Enlai: Misi Damai di Tengah Kecurigaan
Zhou Enlai tiba di Indonesia dengan membawa misi penting. Di tengah Perang Dingin yang membelah dunia menjadi dua kutub—Barat yang kapitalis dan Timur yang komunis—Tiongkok sebagai negara komunis baru sering dipandang dengan penuh curiga. Sejumlah delegasi bahkan awalnya keberatan dengan keikutsertaan China dalam konferensi. Namun, dengan ketenangan dan kecermatan diplomatiknya, Zhou perlahan mengubah persepsi itu.
Ia menyampaikan bahwa China tidak berniat memaksakan ideologi atau mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Sebaliknya, ia menekankan bahwa China mendukung perjuangan anti-kolonial dan kemerdekaan sejati. Dalam pidatonya yang terkenal, Zhou memaparkan lima prinsip hidup berdampingan secara damai, yang mencerminkan filosofi hubungan luar negeri China yang mengedepankan kesetaraan dan saling menghormati.
Sikap tenang, hormat, dan terbuka yang ditunjukkan Zhou Enlai selama konferensi berhasil mencairkan ketegangan. Bahkan para pemimpin yang awalnya skeptis, seperti Ali Sastroamidjojo dari Indonesia dan Sir John Kotelawala dari Sri Lanka, mulai melihat China dalam cahaya yang berbeda.
Pertemuan dengan Soekarno dan Diplomasi yang Hangat
Selama berada di Bandung, Zhou Enlai juga menjalin hubungan erat dengan Presiden Soekarno. Pertemuan keduanya bukan sekadar formalitas diplomatik, tetapi sebuah pertemuan antara dua pemimpin Asia yang percaya pada pentingnya solidaritas negara-negara berkembang. Soekarno menghormati Zhou sebagai negarawan besar yang mampu berbicara dengan tegas namun tetap membangun jembatan antar bangsa. Keramahan masyarakat Bandung serta sambutan hangat pemerintah Indonesia kepada Zhou juga meninggalkan kesan mendalam bagi delegasi China.
Bandung bukan sekadar kota persinggahan bagi Zhou Enlai; ia menyebut kota itu sebagai simbol kelahiran kembali bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang sebelumnya terpecah oleh kolonialisme. Dalam pertemuan-pertemuan bilateral, Zhou aktif mengusulkan kerja sama ekonomi, pertukaran budaya, serta mendukung perjuangan kemerdekaan negara-negara Afrika.
Warisan Diplomasi dan Jejak Sejarah
Setelah Konferensi Asia-Afrika berakhir, dunia mencatatnya sebagai momen penting dalam sejarah hubungan internasional. Bagi China, kehadiran Zhou Enlai di Bandung menjadi titik balik: dari negara yang dipandang sebagai ancaman, menjadi mitra yang disegani. Dalam bulan-bulan berikutnya, hubungan diplomatik antara China dan banyak negara Asia-Afrika mulai terbuka.
Bagi Bandung, peristiwa ini menempatkan kota itu dalam peta sejarah dunia. Hingga kini, Gedung Merdeka—tempat berlangsungnya KAA—masih berdiri kokoh sebagai monumen pertemuan besar itu. Di sana pula, potret Zhou Enlai bersama para pemimpin dunia lainnya menghiasi museum yang didirikan untuk mengenang semangat solidaritas Asia-Afrika.
Zhou Enlai di Bandung bukan sekadar catatan diplomatik biasa. Ia adalah lambang dari harapan baru, pendekatan damai dalam dunia yang penuh konflik, dan semangat untuk membangun hubungan internasional yang tidak didasarkan pada dominasi, melainkan pada kesetaraan dan saling pengertian. Bandung menjadi panggung sejarah di mana China memperkenalkan wajah barunya kepada dunia, dan Zhou Enlai menjadi aktor utama dalam episode penting itu.